Sariwangi Pailit Karena Salah Investasi? Ini Penjelasannya!

Pengadilan Niaga Jakarta telah memutuskan bahwa PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA) dinyatakan pailit. Penyebab dari perusahan tersebut dinyatakan pailit hingga saat ini masih belum diketahui.

Menurut Ketua Dewan Teh Indonesia Bambang Murtioso, perusahaan SAEA dinyatakan pailit akibat kesalahan strategi bisnis. Menurutnya beberapa tahun lalu perusahaan melakukan investasi di sektor hulu dengan membangun teknologi pengairan untuk kebutuhan di kebun.

Bambang menambahkan bahwa investasi tersebut sebenarnya baik namun jika dilihat secara ekonomis hal tersebut tidak layak. Hal ini yang kemudian investasi yang digelontorkan tidak dapat kembali.

Investasi yang dilakukan tidak efisien terebih untuk bisnis teh di Indonesia. Ini karena fungsi dari teknologi pengolah air tidak begitu efektif dalam memasok kebutuhan air di perkebunannya.

Di musim kemarau memang ketersediaan air terbatas, bahkan di musim kemarau waduk bisa mengering. Sehingga teknologi pengolah air tidak efektif untuk memasok kebutuhan air. Investasi yang dilakukan dilakukan di bawah manajemen yang baru dan lepas dari keluarga sang pendiri. Menurut Bambang investor baru kurang mempertimbangkan kondisi perusahaan.

Padahal yang perlu diperhatikan ketika seseorang membeli perusahaan adalah harus memahami semua soal perkembangan perusahaan tersebut.

Johan Alexander Supit merupakan pendiri dari perusahaan Sariwangi dan telah meninggal pada 21 November 2015. Kemudian pucuk pimpinan diteruskan oleh anaknya Andrew Supit. Pada tanggal 30 Oktober 2015, PT Sariwangi diambil alih oleh pihak asing, yakni CR AROMA.

Perusahaan asing tersebut menguasai 70% dari Sariwangi. Kemudian pihak keluarga tidak ikut terlibat dalam perusahaan. Saat ini merk Sariwangi sudah dibeli oleh Unilever sejak 1989. Sehingga produk Sariwangi hingga saat ini sudah tersebut di berbagai tuku bukan milik SAEA.

Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia Suharyo Husen menjelaskan bahwa meski Sariwangi dinyatakan pailit, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap industri teh di Indonesia. Saat ini produksi teh nasonal sebesar 130 ribut ton per tahun. Sementara 70 ribu ton teh Indonesia diekspor ke berbagai negara.